Friday, April 13, 2012

Cinta, Emosi, Nafsu


Apa itu cinta?
Karena sakitnya dikhianati, aku sempat tak peduli, dan tak mengharapkan hadirnya cinta di hidupku. Aku rasa, hidup tanpa perhatian khusus dari seorang lelakipun tak jadi masalah. Aku punya keluarga dan sahabat yang selalu ada saat kubutuhkan. Namun seseorang merubah segalanya. Dia hadir begitu saja di kehidupanku.
Budi. Dia teman SMK ku. Awalnya kami kenal sebatas teman kelas sebelah dan teman satu eks-kul di Palang Merah Remaja. Namun di awal kelas XII entah bagaimana, aku bersahabat dengannya. Dia memang punya daya tarik tersendiri buatku. Meskipun tak begitu tampan, Budi sangat tulus. Tak pernah ku lihat dia mengharapkan sesuatu yang lain dari persahabatan kami. Aku tahu itu, karena dia lahir dan dibesarkan dalam lingkup keluarga yang sederhana.
Di akhir kelas XII, kami sering belajar bersama mempersiapkan Seleksi Ujian Masuk ke Perguruan Tinggi. Meskipun bersekolah di SMK, aku dan beberapa temanku ingin menlanjutkan kuliah. Sering kami belajar beramai-ramai di rumahku. Teman-teman sangat sering berkumpul di rumahku, karena letak rumahku yang paling strategis dibanding rumah teman-teman lainnya. Namun tak jarang kami hanya belajar berdua. Orangtuaku tak keberatan aku belajar hanya bedua dengannya, karena Budi termasuk anak cerdas. Dia sering sekali mengajariku materi-materi pelajaran yang aku belum paham. Terutama matematika. Kami juga membuat jadwal, kapan kami ingin belajar bersama. Biasanya Budi tidak ingin datang untuk belajar pada weekend dan hari libur lain. Karena dia ingin menghabiskan weekend  bersama keluarga. Tapi tidak hari itu.
Pagi itu, aku mencuci bajuku dengan santai. Karena hari ini aku tidak ada jadwal belajar bareng Budi. Namun tiba-tiba satu pesan dari Budi menderingkan ponselku. Kubaca pesannya. Dia bilang pagi ini dia ingin mampir kerumahku. Dia beralasan akan berkunjung ke rumah tantenya yang kebetulan searah dengan rumahku. Karena tak ada alasan menolak, akupun memperbolehkan dia mampir ke rumahku.
Tak lama, ku dengar sebuah motor berhenti di depan rumah. Buru-buru ku pakai jilbab lalu membuka pagar. Ia memarkir motornya di halaman rumahku. Tak seperti biasa, dia terlihat sedikit tegang. Seperti biasa aku mempersilakan dia masuk. Ketika kutanya ada apa, dengan bercanda tentunya, dia bilang ada sesuatu yang penting. Setelah berbasa-basi, akhirnya Budi bilang, dia mencintaiku. Dia lalu bertanya, apa aku mau jadi pacarnya. Aku tahu, dia memang serius dan ngga pernah main-main dengan ucapannya. Tapi entahlah, aku belum cukup yakin bisa menjadi kekasihnya. Saat aku bilang aku belum bisa, dia bilang akan menungguku walau entah sampai kapan itu. Cukup lama dia berada di rumahku dan terus berharap kata ‘iya’ terucap dari bibirku. Tapi aku benar-benar belum bisa. Dia meninggalkan rumahku dengan dua batang cokelat tergeletak di meja ruang tamuku.
Hari demi hari berlalu. Budi masih sama, tetap ingin menungguku. Aku sempat menceritakan hal ini pada ibuku, dan aku bilang aku belum ingin punya pacar. Ibuku setuju saja. Karena sejak awal beliau memang ingin aku fokus dulu pada kuliahku. Apalagi saat itu belum jelas kami akan diterima di universitas mana. Hal ini juga tak mengubah kebersamaanku dengan Budi. Dia tetap baik denganku, malah semakin baik. Dia mau melakukan apapun demi membuatku tersenyum. Dan aku akui, aku sangat nyaman berada di sampingnya. Apalagi orangtua, kakak dan adikku juga sudah kenal baik dengan Budi. Kami sering jalan-jalan bersama, kadang juga bersama teman-teman.
Dua bulan setelah Budi menyatakan cintanya padaku, kami dan alumni SMK Abadi Nanjaya  lainnya datang ke sekolah mengambil album kenangan tahunan SMK kami. Aku datang ke sekolah bersama Budi. Dari sekolah, kami berencana menuju Universitas dimana kami sudah menjadi mahasiswa di sana. Kami berencana mengambil jas almamater universitas. Setelah beres, kami berhenti sejenak di alun-alun kota. Menikmati segarnya es jus sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang. Setelah itu kami menuju rumahku.
Aku hampir lupa, hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu beberapa temanku, termasuk Budi. Karena pukul 2 siang nanti akan diumumkan mahasiswa baru yang diterima di sebuah Universitas ternama di Bogor yang diincar oleh hampir seluruh lulusan SMA atau SMK di Indonesia. Sambil menunggu teman-teman datang, kami mencoba jas almamater yang baru saja kami ambil. Punyaku sangat pas, tapi punya Budi kekecilan. Dia bimbang, sampai akhirnya aku menawarkan diri buat nganterin dia balik ke calon kampus kami itu. Dia pun setuju, dan kami menukar jas Budi dengan ukuran yang lebih besar dari sebelumnya.
Di rumahku, teman-teman menanti pukul 2 siang dengan harap-harap cemas. Rencananya sebelum pukul 2 nanti, mereka akan menuju warnet dekat rumahku bersama-sama. Dan ketika hampir pukul 2 tiba, mereka berpamitan dan bergegas meninggalkan rumahku. Tapi tentu saja aku ikut penasaran dengan hasil pengumuman itu.
Menit demi menit berlalu, teman-temanku tak kunjung memberi kabar. Akhirmya ku putuskan menanyai mereka satu persatu lewat sms. Sekian menit menunggu, tak ada jawaban. Akhirnya salah satu temanku menjawab, Budi diterima sedangkan teman-temanku yang lain tidak. Antara percaya dan tidak. Namun tak lama kemudian, Budi kembali ke rumahku dan menjelaskan semua. Aku turut bahagia dengan keberhasilannya. Sungguh, memang universitas inilah yang dia inginkan sejak lama.
Namun tak lama, kegalauan muncul. Dengan diterimanya Budi di Universitas ternama itu, berarti dia akan tinggal jauh dari rumah. Dari kota ini, kota tempat kami lahir dan tumbuh. Secara otomatis, dia tak jadi sekampus denganku, di kota ini. Ah, kalau tahu begini, lebih baik tadi tak usah menukar jas segala, pikirku saat itu. Mendadak aku sangat takut kehilangan dia, ngga pengen jauh dari dia, dan serba khawatir. Diapun demikian, hingga suatu hari dia mengirimkan pesan di akun facebookku. Budi bilang, dia juga sangat bahagia, tapi bingung. Dia bertanya-tanya apakah mungkin dengan jarak yang jauh aku bakalan mau nunggu dia, apalgi dengan status kami yang masih belum jelas. Jujur aku ingin menangis, tak tahu harus berbuat apa.
Beberapa hari kemudian, Budi datang kerumahku. Aku tahu, dia hendak mengurus berkas-berkas keberangkatannya ke Bogor. Namun disempatkannya waktu untuk kerumahku, sekaligus menanyakan lagi isi hatiku yang sekarang. Aku telah memikirkan ini beberapa hari belakangan. Entah kekuatan darimana yang mendorong hatiku menjadi lebih mantap ingin mendampinginya, menjadi kekasihnya. Aku bahkan tak punya alasan lagi untuk bilang ‘tidak’ saat dia menanyaiku untuk yang kedua kalinya. Saat itu, kami, terutama Budi sangat bahagia. Dan sejak saat itu pula aku berjanji pada diriku, akan menjadi kekasih yang baik bagi Budi, orang yang selama ini ku sayang.
**
Kini hampir satu tahun sudah, aku menjadi kekasih Budi. Banyak hal kudapatkan dari dia. Perhatian yang tak pernah kurang, kasih sayang, cinta, dan segalanya yang begitu indah. Budi juga mengajariku berbagai hal baru. Hal yang sama sekali belum pernah terpikirkan olehku, hal yang tak ku ketahui sebagai gadis lugu. Ya, begitulah. Siapa sangka Budi yang aku pikir tulus, ternyata seperti itu. Dia selalu berharap dapat menikmati keindahan ragaku, bahkan menyentuhnya. Demi Tuhan, aku sangat kecewa. Aku pikir Budi beda, tak seperti kebanyakan cowo yang kukenal. Tapi ternyata aku salah. Kenyataan bahwa dia kurang belaian kasih sayang dari seorang perempuan, nyatanya mampu merobohkan pertahanan diriku sebagai gadis baik-baik. Karena memang, ibunya meninggal tepat tujuh hari setelah keberangkatannya ke Bogor. Aku selalu tak tega dengannya. Aku selalu tak sanggup menolak keinginannya, walaupun itu menyimpang dari norma yang ada.
Aku selalu sedih, jika mengingat apa saja yang telah kulakukan dengan Budi. Aku merasa tak pantas sebagai gadis berjilbab. Memang aku tidak sampai kehilangan kegadisanku, dan tentu saja aku tak mau hal itu terjadi. Namun mengingat hal itu sering membuatku merasa berdosa. Aku merasa begitu bersalah pada kedua orangtuaku, yang tentu saja tak pernah tahu kelakuan tak pantasku itu. Demi Tuhan aku ingin berhenti melakukan semua hal terlarang itu. Namun sungguh dilematis, di satu sisi aku sangat ingin berhenti, di sisi lain aku sering ingin mengulangnya. Aku seperti kecanduan. Aku semakin bingung karena Budi akan menganggapku tak pengertian bila keinginannya tak dipenuhi.
Aku hanya bisa berharap, Tuhan membukakan mata hati Budi, agar dia mau menghentikan semuanya. Aku sungguh tak berdaya. Aku tertekan dengan statusku sebagai ‘pacar’nya
**
Sekian bulan berlalu, Tuhan mendengar do’aku. Akhirnya aku berpisah dengan Budi. Aku yakin dia bukan orang yang tepat untuk menjadi pendampingku. Aku belajar banyak dari pengalamanku itu. Kuharap, tak ada lagi Budi-Budi yang lain. Aku telah memaafkan Budi, meski awalnya sulit. Namun tetap saja, kenangan buruk selalu sulit untuk dilupakan. Meskipun begitu, tak berarti aku harus selamanya membenci Budi kan? (an.pu.dh)
© The end ©

For U girls, be careful, laki-laki itu berbahaya! Simpanlah harta paling berhargamu baik-baik.
For U boys, jaga dan sayangilah kekasihmu baik-baik. Jangan kau salah gunakan kekasihmu.
Dan untuk yang bernama Budi, don’t be angry. I just look for a simple name.  Peace ^_^V (an.pu.dh)

5 comments:

  1. Siapa Budi? apakah aku?
    Bagus karya nya...
    penulisnya dikasih lihat dong...

    ReplyDelete
  2. Budi dipilih karna nama itu mudah diingat, bagus, dan jawa banget.
    http://www.facebook.com/annisa.dhara

    ReplyDelete
  3. m..............
    jaga perasaan, jaga kehormatan.
    ....................

    ReplyDelete