Apa itu cinta?
Karena sakitnya dikhianati, aku
sempat tak peduli, dan tak mengharapkan hadirnya cinta di hidupku. Aku rasa,
hidup tanpa perhatian khusus dari seorang lelakipun tak jadi masalah. Aku punya
keluarga dan sahabat yang selalu ada saat kubutuhkan. Namun seseorang merubah
segalanya. Dia hadir begitu saja di kehidupanku.
Budi. Dia teman SMK ku. Awalnya kami
kenal sebatas teman kelas sebelah dan teman satu eks-kul di Palang Merah
Remaja. Namun di awal kelas XII entah bagaimana, aku bersahabat dengannya. Dia
memang punya daya tarik tersendiri buatku. Meskipun tak begitu tampan, Budi
sangat tulus. Tak pernah ku lihat dia mengharapkan sesuatu yang lain dari
persahabatan kami. Aku tahu itu, karena dia lahir dan dibesarkan dalam lingkup
keluarga yang sederhana.
Di akhir kelas XII, kami sering
belajar bersama mempersiapkan Seleksi Ujian Masuk ke Perguruan Tinggi. Meskipun
bersekolah di SMK, aku dan beberapa temanku ingin menlanjutkan kuliah. Sering
kami belajar beramai-ramai di rumahku. Teman-teman sangat sering berkumpul di
rumahku, karena letak rumahku yang paling strategis dibanding rumah teman-teman
lainnya. Namun tak jarang kami hanya belajar berdua. Orangtuaku tak keberatan
aku belajar hanya bedua dengannya, karena Budi termasuk anak cerdas. Dia sering
sekali mengajariku materi-materi pelajaran yang aku belum paham. Terutama matematika.
Kami juga membuat jadwal, kapan kami ingin belajar bersama. Biasanya Budi tidak
ingin datang untuk belajar pada weekend dan hari libur lain. Karena dia
ingin menghabiskan weekend bersama
keluarga. Tapi tidak hari itu.
Pagi itu, aku mencuci bajuku dengan
santai. Karena hari ini aku tidak ada jadwal belajar bareng Budi. Namun
tiba-tiba satu pesan dari Budi menderingkan ponselku. Kubaca pesannya. Dia
bilang pagi ini dia ingin mampir kerumahku. Dia beralasan akan berkunjung ke
rumah tantenya yang kebetulan searah dengan rumahku. Karena tak ada alasan
menolak, akupun memperbolehkan dia mampir ke rumahku.
Tak lama, ku dengar sebuah motor
berhenti di depan rumah. Buru-buru ku pakai jilbab lalu membuka pagar. Ia
memarkir motornya di halaman rumahku. Tak seperti biasa, dia terlihat sedikit
tegang. Seperti biasa aku mempersilakan dia masuk. Ketika kutanya ada apa,
dengan bercanda tentunya, dia bilang ada sesuatu yang penting. Setelah
berbasa-basi, akhirnya Budi bilang, dia mencintaiku. Dia lalu bertanya, apa aku
mau jadi pacarnya. Aku tahu, dia memang serius dan ngga pernah main-main dengan
ucapannya. Tapi entahlah, aku belum cukup yakin bisa menjadi kekasihnya. Saat
aku bilang aku belum bisa, dia bilang akan menungguku walau entah sampai kapan
itu. Cukup lama dia berada di rumahku dan terus berharap kata ‘iya’ terucap
dari bibirku. Tapi aku benar-benar belum bisa. Dia meninggalkan rumahku dengan
dua batang cokelat tergeletak di meja ruang tamuku.
Hari demi hari berlalu. Budi masih
sama, tetap ingin menungguku. Aku sempat menceritakan hal ini pada ibuku, dan
aku bilang aku belum ingin punya pacar. Ibuku setuju saja. Karena sejak awal
beliau memang ingin aku fokus dulu pada kuliahku. Apalagi saat itu belum jelas
kami akan diterima di universitas mana. Hal ini juga tak mengubah kebersamaanku
dengan Budi. Dia tetap baik denganku, malah semakin baik. Dia mau melakukan
apapun demi membuatku tersenyum. Dan aku akui, aku sangat nyaman berada di
sampingnya. Apalagi orangtua, kakak dan adikku juga sudah kenal baik dengan Budi.
Kami sering jalan-jalan bersama, kadang juga bersama teman-teman.
Dua bulan setelah Budi menyatakan
cintanya padaku, kami dan alumni SMK Abadi Nanjaya lainnya datang ke sekolah mengambil album
kenangan tahunan SMK kami. Aku datang ke sekolah bersama Budi. Dari sekolah,
kami berencana menuju Universitas dimana kami sudah menjadi mahasiswa di sana.
Kami berencana mengambil jas almamater universitas. Setelah beres, kami
berhenti sejenak di alun-alun kota. Menikmati segarnya es jus sambil memandangi
kendaraan yang lalu lalang. Setelah itu kami menuju rumahku.
Aku hampir lupa, hari itu adalah hari
yang ditunggu-tunggu beberapa temanku, termasuk Budi. Karena pukul 2 siang
nanti akan diumumkan mahasiswa baru yang diterima di sebuah Universitas ternama
di Bogor yang diincar oleh hampir seluruh lulusan SMA atau SMK di Indonesia.
Sambil menunggu teman-teman datang, kami mencoba jas almamater yang baru saja
kami ambil. Punyaku sangat pas, tapi punya Budi kekecilan. Dia bimbang, sampai
akhirnya aku menawarkan diri buat nganterin dia balik ke calon kampus kami itu.
Dia pun setuju, dan kami menukar jas Budi dengan ukuran yang lebih besar dari
sebelumnya.
Di rumahku, teman-teman menanti pukul
2 siang dengan harap-harap cemas. Rencananya sebelum pukul 2 nanti, mereka akan
menuju warnet dekat rumahku bersama-sama. Dan ketika hampir pukul 2 tiba,
mereka berpamitan dan bergegas meninggalkan rumahku. Tapi tentu saja aku ikut
penasaran dengan hasil pengumuman itu.
Menit demi menit berlalu,
teman-temanku tak kunjung memberi kabar. Akhirmya ku putuskan menanyai mereka
satu persatu lewat sms. Sekian menit menunggu, tak ada jawaban. Akhirnya salah satu
temanku menjawab, Budi diterima sedangkan teman-temanku yang lain tidak. Antara
percaya dan tidak. Namun tak lama kemudian, Budi kembali ke rumahku dan
menjelaskan semua. Aku turut bahagia dengan keberhasilannya. Sungguh, memang
universitas inilah yang dia inginkan sejak lama.
Namun tak lama, kegalauan muncul. Dengan
diterimanya Budi di Universitas ternama itu, berarti dia akan tinggal jauh dari
rumah. Dari kota ini, kota tempat kami lahir dan tumbuh. Secara otomatis, dia
tak jadi sekampus denganku, di kota ini. Ah, kalau tahu begini, lebih baik tadi
tak usah menukar jas segala, pikirku saat itu. Mendadak aku sangat takut
kehilangan dia, ngga pengen jauh dari dia, dan serba khawatir. Diapun demikian,
hingga suatu hari dia mengirimkan pesan di akun facebookku. Budi bilang,
dia juga sangat bahagia, tapi bingung. Dia bertanya-tanya apakah mungkin dengan
jarak yang jauh aku bakalan mau nunggu dia, apalgi dengan status kami yang
masih belum jelas. Jujur aku ingin menangis, tak tahu harus berbuat apa.
Beberapa hari kemudian, Budi datang
kerumahku. Aku tahu, dia hendak mengurus berkas-berkas keberangkatannya ke Bogor.
Namun disempatkannya waktu untuk kerumahku, sekaligus menanyakan lagi isi
hatiku yang sekarang. Aku telah memikirkan ini beberapa hari belakangan. Entah
kekuatan darimana yang mendorong hatiku menjadi lebih mantap ingin
mendampinginya, menjadi kekasihnya. Aku bahkan tak punya alasan lagi untuk
bilang ‘tidak’ saat dia menanyaiku untuk yang kedua kalinya. Saat itu, kami,
terutama Budi sangat bahagia. Dan sejak saat itu pula aku berjanji pada diriku,
akan menjadi kekasih yang baik bagi Budi, orang yang selama ini ku sayang.
**
Kini hampir satu tahun sudah, aku
menjadi kekasih Budi. Banyak hal kudapatkan dari dia. Perhatian yang tak pernah
kurang, kasih sayang, cinta, dan segalanya yang begitu indah. Budi juga
mengajariku berbagai hal baru. Hal yang sama sekali belum pernah terpikirkan
olehku, hal yang tak ku ketahui sebagai gadis lugu. Ya, begitulah. Siapa sangka
Budi yang aku pikir tulus, ternyata seperti itu. Dia selalu berharap dapat
menikmati keindahan ragaku, bahkan menyentuhnya. Demi Tuhan, aku sangat kecewa.
Aku pikir Budi beda, tak seperti kebanyakan cowo yang kukenal. Tapi ternyata
aku salah. Kenyataan bahwa dia kurang belaian kasih sayang dari seorang
perempuan, nyatanya mampu merobohkan pertahanan diriku sebagai gadis baik-baik.
Karena memang, ibunya meninggal tepat tujuh hari setelah keberangkatannya ke Bogor.
Aku selalu tak tega dengannya. Aku selalu tak sanggup menolak keinginannya,
walaupun itu menyimpang dari norma yang ada.
Aku selalu sedih, jika mengingat apa
saja yang telah kulakukan dengan Budi. Aku merasa tak pantas sebagai gadis
berjilbab. Memang aku tidak sampai kehilangan kegadisanku, dan tentu saja aku
tak mau hal itu terjadi. Namun mengingat hal itu sering membuatku merasa
berdosa. Aku merasa begitu bersalah pada kedua orangtuaku, yang tentu saja tak
pernah tahu kelakuan tak pantasku itu. Demi Tuhan aku ingin berhenti melakukan
semua hal terlarang itu. Namun sungguh dilematis, di satu sisi aku sangat ingin
berhenti, di sisi lain aku sering ingin mengulangnya. Aku seperti kecanduan.
Aku semakin bingung karena Budi akan menganggapku tak pengertian bila
keinginannya tak dipenuhi.
Aku hanya bisa berharap, Tuhan
membukakan mata hati Budi, agar dia mau menghentikan semuanya. Aku sungguh tak
berdaya. Aku tertekan dengan statusku sebagai ‘pacar’nya
**
Sekian bulan berlalu, Tuhan mendengar
do’aku. Akhirnya aku berpisah dengan Budi. Aku yakin dia bukan orang yang tepat
untuk menjadi pendampingku. Aku belajar banyak dari pengalamanku itu. Kuharap,
tak ada lagi Budi-Budi yang lain. Aku telah memaafkan Budi, meski awalnya
sulit. Namun tetap saja, kenangan buruk selalu sulit untuk dilupakan. Meskipun
begitu, tak berarti aku harus selamanya membenci Budi kan? (an.pu.dh)
© The end ©
For U girls, be careful, laki-laki
itu berbahaya! Simpanlah harta paling berhargamu baik-baik.
For U boys, jaga dan sayangilah kekasihmu baik-baik.
Jangan kau salah gunakan kekasihmu.
Dan untuk yang bernama Budi, don’t be angry. I just look for
a simple name. Peace ^_^V
(an.pu.dh)
Siapa Budi? apakah aku?
ReplyDeleteBagus karya nya...
penulisnya dikasih lihat dong...
Budi dipilih karna nama itu mudah diingat, bagus, dan jawa banget.
ReplyDeletehttp://www.facebook.com/annisa.dhara
perasaan cewek
ReplyDeletem..............
ReplyDeletejaga perasaan, jaga kehormatan.
....................
betul....
Delete